Rapor yang sudah ku nanti selama enam bulan itu kini
telah berada di tangan kakakku. Kebetulan ibu sedang sibuk dan tak bisa datang
ke sekolah. Kakakku yang tak suka acara orangtua itu langsung pulang setelah
mengambil rapor, sedangkan aku masih di sekolah.
“Hey, kita main yuk?”. Kata Danti mengajakku dan
teman-teman untuk main.
“Main kemana?”. Tanya teman-teman serempak.
“Ke daerah Situ Gunung aja!”. Ira menyarankan tempat
untuk bermain.
“Tapi kita bilang dulu ke Bu Yati.” Kata Lani.
“Oke!”.
Segera kami semua
menghadap ke Bu Yati, wali kelas kami untuk meminta izin.
“Bu, kita mau main ke daerah Situ Gunung.”. Bicara Lani
pada Bu Yati. “Boleh enggak, Bu?”.
Bu Yati yang sedang
merapikan buku-buku rapor itu tiba-tiba diam dan memandang ke arah kami. Dari
pandangannya, terlihat bahwa Bu Yati tengah memikirkan sesuatu.
“Jangan dulu, lah.”. Bu Yati melarang kami untuk bermain.
“Lebih baik kita makan bareng aja di sini.”. Tambahnya menyarankan kami.
“Daripada main, mending sekarang kalian pulang aja ke rumah masing-masing!”.
Perintah Bu Yati membuat kami semua menjadi tak bersemangat. Jika kami semua
pulang, mungkin pembagian rapor hari ini tak ada yang spesial. Biasanya,
setelah pembagian rapor, kami pergi berlibur untuk menyegarkan pikiran dari
tugas-tugas sekolah.
Selepas itu, Lani langsung berbalik badan dan mendorong
teman-teman ke luar dari kelas.
“Bu Yati ngelarang.”. Bisiknya ditengah kerumunan
teman-teman.
“Yaaah.. gak seru!”. Gerutu Ira.
“Terus gimana dong?”. Aku ikut bertanya.
“Mending sekarang kita pergi aja langsung ke sana! Gak
usah bilang ke Bu Yati.”. ajak Ira sambil berbisik.
Teman-teman yang sudah tak sabar untuk bermain itu sangat
setuju pada ide Ira. Dengan sembunyi-sembunyi, kami yang berjumlah hampir
setengah kelas ini pergi ke luar sekolah dan mencoba untuk mencari angkutan
umum. Perempuan berjumlah sepuluh orang dan laki-laki hanya dua orang,
sedangkan teman-teman yang lain tidak ikut karena ada kepentingan lain.
Kami yang bergerombol ini naik satu angkutan umum. Tak
ada perbincangan antara kami dan sopir yang akan mengantar, karena kami sudah
buru-buru dan langsung pergi berjelajah. Walau terasa sumpek karena
berdesak-desakan, tapi kami nekat ingin pergi bermain. Selama rombongan kami
berada dalam angkutan umum yang tengah berjalan, kami bercanda tawa, ceria
bersama, sambil berbagi buah rambutan yang dibawa oleh Agus.
Lama dalam perjalanan, tiba-tiba sopir angkot itu
bertanya pada kami.
“Mau pada kemana, nih?”. Tanya sopir angkot.
“Mau ke Situ Gunung, Mang!”. Jawab Lani dengan lantang.
“Wah, Jauh dong!”. Sopir angkot itu mulai menggerutu dan
tiba-tiba saja menghentikan lajunya. Kami semua mulai khawatir dan kebingungan.
“Lho, kok berhenti sih, Mang?!”. Kata Riani dengan
tatapan yang heran.
“Turun, turun, turun!”. Perintah sopir angkot itu
mendorong kami agar segera turun. “Situ Gunung itu terlalu jauh!”. Teriak sopir
angkot.
Mendengar sopir angkot itu marah-marah, kami segera
turun. Lalu sopir itu menagih uang ongkos yang harus kami bayar. Riani yang
memegang uang ongkos dengan sigap memberikan seluruh uangnya pada sopir galak
tersebut. Lembar demi lembar dihitung olehnya. Tak lama kemudian sopir itu
berteriak.
“Dasar bocah! Kurang nih uangnya!”. Gerutu sopir angkot.
Sungguh kami semua merasa
jengkel. “Heh, Mang! Kalo mau lebih, anterin kita sampe tempat tujuan! Bukan
nurunin kita disini! Dasar!”. Vinda ikut menggerutu.
“Pokoknya bayar! Sudi amat nganterin sampe ke Situ
Gunung! Paling juga gak bakal dibayar!”. Sopir angkot yang benar-benar
menjengkelkan itu terus menggerutu.
“Nih! Ambil semua! Dasar tua bangka ngejengkelin! Makan
tuh duit!”. Riani yang sudah hilang kesabaran itu melemparkan semua uang pada
sopir angkot. Tanpa waktu lama, setelah uang itu sudah berada di tangan sopir,
dia langsung tancap gas dan pergi meninggalkan kami di tengah jalan yang begitu
panjang.
Kami diturunkan di daerah Cinumpang yang letaknya kurang
lebih lima kilometer dari Situ Gunung. Tak ada kendaraan yang lewat. Jalan itu
terasa sepi dan sunyi. Karena taka da jalan lain, perjalanan sangat tanggung.
Bila kami pulang lagi, jalan lebih jauh dan tak ada angkutan. Sementara jarak
perjalanan ke Situ Gunung juga masih sangat jauh. Dengan sangat terpaksa, kami
semua harus berjalan. Sesekali, ada mobil box yang lewat.
“Hey! Naik mobil yang itu aja!”. Kata Rahman sambil
menunjuk ke arah mobil box yang hendak menuju ke arah kami. “Daripada capek
jalan! Jauh tau!”. Rahman sepertinya sudah kewalahan.
“Ya udah, tungguin aja disini.”. Jawabku.
Mobil itu berhenti di
depan sebuah warung kecil pinggir jalan. Kami tetap menunggu mobil itu, namun
sangat lama bagi mobil itu untuk melaju. Mungkin sopir mobil box itu sedang
beristirahat.
Lama kami menunggu, akhirnya mobil box itu melaju. Kami
yang menanti di pinggir jalan segera bangkit, berniat untuk mencegatnya. Namun,
saat mobil itu sudah berada tepat di depan kami, isi dari mobil box itu
membatalkan niat tadi.
“Aduh! Gak deh!”. Kata Ira. “Masa kita mau satu box sama
sampah?!”. Tambahnya dengan raut wajah yang sungguh tak menginginkan kami naik
mobil box itu.
“Iya, ih! Jalan aja!”. Teriak Lani.
“Capek tahu!”. Rahman yang sudah kewalahan itu terus
mengeluh. “Aku mau pulang aja!”. Gerutunya bertambah.
“Jangan pulang, dong! Nanti yang jagain kita siapa?!”.
Bentak Vinda pada Agus dan Rahman.
Suasana sepertinya mulai memanas.
“Gara-gara tukang angkot tua bangka!”. Teriak Ami yang
dari tadi terus menyalahkan sopir angkot tadi.
“Ya udah, lah! Sekarang bawa seru aja! Jangan marah-marah
terus! Niat kita kan mau liburan!”. Kata Danti.
Kami segera melanjutkan
perjalanan ke Situ Gunung. Tak ada perasaan yang mengganjal. Kakiku terasa
seperti mau patah! Jalanan berbelok-belok dan bergelombang itu sungguh menguras
tenaga.
Karena dibawa seru, akhirnya kami sedikit gila-gilaan.
Kami berlagak seperti reporter TV yang sedang merekam peristiwa petualangan.
Sementara aku menjadi seorang pemegang kamera. Lumayan, tak terlalu membuat
kami kesal seperti tadi.
Durasi video di posel Vinda pun telah habis. Kami memutar
kembali video perjalanan yang berdurasi empat puluh lima menit itu. Setelahnya,
ku kembalikan ponsel tersebut pada Vinda.
Perjalanan yang suungguh melelahkan! Sebelas menit
setelah itu, akhirnya kami sampai di gerbang Situ Gunung. Kami malah disambut
oleh seekor lebah yang ukurannya cukup besar. Lebah itu terus mengikuti kami
kemanapun kami beranjak. Aku, Ira, Riani, Wati, Danti, Vinda, dan Ami berjalan
paling depan.
“Eh, Lani, Lia, sama Rina mana?”. Tanya Ira yang dari
tadi clengok mencari mereka bertiga.
Setelah kami sadar
ternyata mereka tidak ada, ditambah Agus dan Rahman juga tak terlihat, kami
berbalik arak ke belakang untuk mencari mereka. Tiba-tiba mereka berlarian kea
rah kami dengan nafas yang terngengah.
“Hey! Ada cowok yang ngejar-ngejar kita!”. Teriak Lani.
“Cowok siapa?”. Tanyaku.
“Gak tahu. Pokoknya penampilan mereka berandalan!”. Kata
Lani.
Mendengar kabar yang
sangat membahayakan itu, sontak kami menjadi panik. Tak tahu harus apa. Agus
dan Rahman tetap tidak terlihat. Padahal, mereka yang paling bisa diandalkan untuk
menjaga keselamatan kami.
Kami berlarian untuk menghindari
cowok-cowok berandalan itu. Kami terus memanjatkan do’a. Firasat tidak enak itu
tiba-tiba mengganjal di benakku. Kami berhenti saat Rahman dan Agus berteriak
dari arah belakang. Syukurlah, ternyata mereka masih ada.
“Kalian kemana aja, sih?!”. Gerutu
Riani. “Kalian harus di sini! Jangan dulu pulang! Jagain kita! Kita semua kan
cewek!”. Riani terus memperingati Rahman dan Agus.
“Iya, tenang aja! Kita gak bakalan
pulang kok!”. Jawab Rahman.
Kami terus melanjutkan perjalanan.
Tujuannya sih, ingin sampai ke danau Situ Gunung dan berfoto bersama.
“Eh, awas ada ular!”. Teriak Ira dan
Vinda yang berjalan paling depan.
Mendengar
ada ular, aku pun segera berhati-hati dalam perjalanan. Ular kecil yang
bentuknya aneh. Rasa curiga itu benar-benar ular atau bukan pun mulai tumbuh.
Tetapi kami semua bersikap wajar dan biasa saja untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan, terutama di hutan macam ini.
Di tengah jalan, ada dua jalur yang
memaksa kami untuk menghentikan perjalanan. Di jalur tersebut, kami mulai
merundingkan kemana tujuan yang benar-benar akan kami tuju. Jalur belok kiri
adalah jalur menuju rumah neneknya Ami, sedangkan jalur lurus adalah jalan
menuju ke danau Situ Gunung. Perbedaan pendapat pun terjadi. Ira dan Ami ingin
ke jalur kiri, Rahman ingin ke danau, teman-teman yang lain masih bingung,
sedangkan Lani dan Agus memaksa kami untuk pulang karena menurut mereka, cuaca
sudah tidak mendukung.
Lama kami berunding, akhirnya
keputusan yang diambil adalah berjalan ke jalur lurus hingga sampai di danau.
Namun baru saja aku melangkah, aku melihat benda jatuh dari atas pohon besar,
tepat di depan mataku. Hal itu membuatku jadi teringat pada kata-kata kakakku.
“Jika kita berada di dalam kebingungan saat perjalanan, terutama perjalanan di
hutan dan melihat benda mati atau hidup yang terjatuh tepat di depan mata,
lebih baik perjalanan itu jangan diteruskan karena itu merupakan pertanda yang
tidak baik.”. Pepatah itu terus mengiang-ngiang di kepalaku.
Mungkin dalam keadaan mistis seperti
itu menjadi mudah bagiku mengingat hal-hal yang mistis pula. Tanpa berpikir
panjang, aku segera mengutarakan itu pada teman-teman.
“Aku gak mau ke danau.”. Kataku
dengan raut wajah yang tak berekspresi dan tatapan mata masih melihat ke arah
jatuhnya benda tadi.
Teman-teman
yang sedang berjalan itu langsung berhenti dan melihat ke arahku.
“Kenapa?”. Tanya teman-teman.
Ku
ceritakan sesuatu yang mengiang-ngiang di otakku. Teman-teman segera berbelok
arah ke jalur kiri menuju ke rumah neneknya Ami, karena rumah neneknya Ami
dirasa paling aman. Namun tetap saja perasaan yang mengganjal itu masih ada di
benakku.
“Tunggu!”. Teriak Riani.
“Ada apa lagi?”. Tanya teman-teman.
“Jujur deh! Sebenernya kalian
ngerasa ada yang ngeganjal di hati gak?”. Pertanyaan Riani menandakan bahwa
Riani juga sebenarnya merasa tidak enak hati.
“Nah! Iya bener, Ri! Malahan dari
tadi!”. Kataku.
“Ya udah, gak apa-apa. Mendingan
sekarang kita ke rumah neneknya Ami, biar aman.”. Saran Ira.
Kami
semua berjalan kembali ke tujuan. Jalanannya yang menurun membuat kakiku
semakin terasa seperti remuk! Sungguh menyiksa!
Belum reda sakitnya kakiku setelah
menempuh perjalanan yang menurun dan berbatu, kini kami harus berjalan lagi di
jalan yang berlumpur dan licin. Belum lagi, ada anjing liar yang berkeliaran.
Untung saja anjing itu tidak galak. Terlihat sebuah gerbang vila terbuka. Namun
kami terus berjalan ke arah kiri, jalan kecil dengan permukaan tanah yang
licin.
Kami berhenti sejenak. Jika teman-teman
tampak ribut dan sangat berisik, tapi suara Lani dan Agus Nampak tenggelam.
Kami mencari keberadaan mereka berdua di antara barisan teman-teman. Tak
diragukan lagi, mereka kabur disaat kami akan berjalan ke depan vila tadi.
Menyebalkan! Saat kami semua saling menggerutu. Mereka masih saja mencari
kesempatan dalam kesempitan. Memang sih, dari awal mereka berdua sudah memaksa
ingin pulang. Tapi kami sungguh tak menyangka merekan akan pulang dengan
sembunyi-sembunyi.
Setelah sampai di depan rumah neneknya
Ami, suasananya menjadi sangat sunyi. Tak kami sangka bahwa dari total empat
rumah, seluruhnya dalam keadaan kosong dan terkunci. Semangat kami pun kembali down. Sungguh malang ternyata nasib
liburan kami hari ini.
Kami hanya bisa duduk termenung di
teras rumah-rumah itu.
“Kita tuh kaya anak-anak nyasar!”.
Kata Vinda dengan nada yang lemas.
“Iya, ih! Coba aja kalo tadi kita
nurut sama Bu Yati, pasti kita gak akan kaya gini.”. Tambah Riani.
Ku tatap wajah teman-teman satu per
satu. Semuanya sungguh mengenaskan. Suasananya yang sangat sepi sungguh membuat
kami semakin lemas. Yang terdengar hanya suara jangkrik, burung gagak, dan naungan
lebah besar yang dari tadi mengikuti kami. Jika aku perhatikan, lebah besar itu
selalu mengintai kami kemanapun perjalanan kami di Situ Gunung. Ketika kami
berjalan, lebah itu mengikuti kami. Bahkan ketika kami diam, lebah tersebut
ikut diam dan hinggap di pepohonan yang ada di sekitar kami. Lebah itu seakan
membawa suatu pesan yang tidak kami ketahui.
“Fitri! Ngelamun terus!”. Kata-kata
Rahman membuyarkan lamunanku. “Kamu pake kartu perdana yang sama kaya si Agus,
kan?”. Tanyanya padaku.
“Iya. Emangnya kenapa, Man?”.
Tanyaku berbalik pada Rahman.
“Punya pulsa gak? Coba telfon si
Agus! Suruh balik lagi ke sini!”. Perintahnya padaku agar aku menghubungi Agus
dan menyuruhnya kembali ke rumah neneknya Ami.
Ku
keluarkan ponselku dari saku. Sayangnya baterai ponselku sudah hampir habis.
Selain itu, tak terdapat sinyal yang nyantol. Ku coba menggoyangkan ponselku
untuk mencari sinyal. Tak lama, ada satu sinyal yang ku dapat. Tanpa berpikir
panjang, aku segera menghubungi Agus.
“Gus, kamu dimana?!”. Teriakku dalam
telepon.
“Aku di jalan, Fit!”. Jawabnya
dengan nafas yang ngos-ngosan.
“Bego banget sih lu! Pulang gak izin
sama kita!”. Ami yang sudah sangat kesal pada Agus itu memarahinya.
“Maaf, ya! Kan perasaan aku gak
enak. Terus cuacanya juga gak ngedukung.”. Banyak alasan yang dikeluarkan oleh
Agus.
“Ya udah, terserahlah kamu mau
ngeluarin alasan apa! Yang jelas, tungguin kita di gerbang Situ Gunung! Kita
gak mau tahu!”. Riani ikut membentak Agus.
“Iya, siap!”. Jawab Agus seperti
dalam keadaan yang baik-baik saja.
Dengan
rasa kesal, Ami menekan tombol end call dari
ponselku. Tak lama kemudian, ponselku mati karena baterainya habis.
Suasana kembali hening. Teman-teman
masih terdiam membisu dengan tatapannya yang kosong.
“Hey, kalian haus gak?”. Tanya Ami.
“Hauuuuuus banget, Mi.”. Jawab
Rahman.
“Ya udah, siapa yang mau nganter aku
ke rumah sodara? Aku mau minta minum buat kalian.”. Ami meminta salah satu dari
kami untuk mengantar ke rumah saudaranya yang berada di arah bawah. Jalanannya
terus menuju ke bawah, ke tepi jurang yang dalam. Karena keadaan kami yang
sangat haus dan lapar, akhirnya Vinda dan Ira bersedia mengantar Ami. Mereka
bertiga turun ke tepi jurang tersebut. Tak lama, terdengar suara Vinda
berteriak. Sontak teriakan Vinda membuat teman-teman menjadi panik.
“Ada apa, Vin?”. Tanyaku pada Vinda
dengan nada yang tinggi.
“Anjingnya banyak!”. Teriak Vinda dari
kejauhan.
Aku
yang paling takut bila berhadapan dengan anjing pun menjadi semakin panik.
Teman-teman yang semula duduk termenung, kini lari-lari tak karuan. Semuanya
berlari saling-silang. Aku, Rina, dan Lia berlari menuju belakang rumah, Rahman
berlari ke dekat pohon, Wati, dan teman-teman yang lain berlari menuju teras
rumah yang ada di samping.
Sungguh keadaan yang sangat
menegangkan. Kami menunggu Vinda, Ira, dan Ami kembali. Tiba-tiba aku melihat
seekor anjing berbulu cokelat yang datang dari samping kiriku. Anjing itu
menggonggong padaku dan Lia, serta Rina. Dalam keadaan yang sudah sangat
ketakutan, akhirnya aku, Lia, dan Rina berlari menuju ke tempat Wati dan
teman-teman mengamankan diri. Ternyata anjingnya ada lebih dari satu. Tubuhku
gemetar, aku ketakutan, apalagi jika harus berhadapan dengan anjing liar yang
jumlahnya lumayan banyak. Setelah Vinda, Ira, dan Ami kembali, kami semua
berlari menghindari anjing-anjing liar tersebut. Jalanan licin itu kami lewati
dengan cepat. Kami semua berlari di jalan yang sangat kecil. Tak sedikit dari
kami yang jatuh terpeleset. Tetapi kami harus bangkit dengan segera agar tidak
tertinggal.
“Masuk ke vila! Cuma itu tempat yang
aman buat sembunyi dari anjing! Mumpung gerbangnya buka!”. Teriak Rahman
memperingati kami agar kami langsung masuk ke vila.
Kami berhenti berlari dan segera
masuk ke vila tersebut. Di balik gerbang vila itu, kami berunding. Sebagian
lagi, ada yang beristirahat.
“Terus sekarang mau ngapain?”. Tanya
Danti dengan nafas yang terngengah dan memegang lututnya.
“Aduh.. gak tahu mau apa, nih. Yang
jelas diem dulu aja sebentar di sini. Istirahat bentar aja. Anjingnya masih
ngegonggong tuh.”. Jawabku menyarankan.
Rahman,
satu-satunya cowok dalam rombongan itu menuju ke halaman vila yang luas dan
panjang.
“Man, kamu mau kemana?”. Teriakku
pada Rahman yang sudah lumayan jauh berjalan.
“Mau minta izin buat diem di sini
sebentar!”. Jawabnya.
Riani
menatapku dan mengajakku untuk mengikuti Rahman.
“Ikut masuk yuk, Fit.”. Ajak Riani
padaku.
Dengan
tubuh yang lemas, aku mengiyakan ajakan Riani. “Iya, Ri.”. Jawabku singkat.
Aku dan Riani berjalan masuk ke
halaman vila mengikuti Rahman. Rasa yang mengganjal itu kembali terasa di
benakku. Jika aku perhatikan, vila itu begitu menyeramkan. Vila tersebut memiliki
halaman yang panjang dan luas, serta ruangan vilanya ada di atas. Bila kami
ingin masuk, kami harus melewati beberapa anak tangga. Ku perhatikan,
tangga-tangga kayu yang ada di luar untuk menuju masuk ke dalam vila itu sudah
sangat kotor, rapuh, dan berlumut. Atap vila itu sudah dipenuhi sarang
laba-laba. Keadaannya sangat sepi, sunyi, dan keadaannya pun sangat dingin. Di
balik sepinya vila itu, aku merasa ada yang memperhatikanku dari atas vila. Aku
terus melihat ke segala arah, tetapi sungguh tak ada orang selain rombongan
kami.
“Serem banget vilanya, Fit.”. Bisik
Riani.
“Iya, Ri. Aku ngerasa kaya ada yang
merhatiin kita. Tapi dilihat-lihat, tidak ada.”. Kataku.
“Iya bener tuh, Fit.”. Riani juga
merasakan hal yang sama sepertiku.
Aku
dan Riani menyusul Rahman yang sudah memimpin paling depan.
“Assalamualaikum..”. Rahman
mengucapkan salam, berharap ada orang di vila itu.
“Fit, lampu luarnya aja nyala. Pasti
gak ada orangnya.”. Kata Riani berbisik padaku.
“Iya, Ri. Tapi coba dulu aja, deh.
Siapa tahu ada yang nyaut.”. Jawabku.
“Assalamualaikum..”. Rahman
mengucapkan salam untuk yang kedua kalinya. Tetap tidak ada jawaban yang kami
dengar.
“Assalamualaikum..”. Ketiga kalinya
Rahman mengucapkan salam.
“Hei! Udah tiga kali salam tapi gak
ada yang ngejawab, berarti udah aja kita pergi dari vila ini.”. Teriak Danti
yang dari tadi tak ingin masuk ke halaman vila. Entah mengapa teman-teman yang
lain tak ingin menginjak halaman vila. Mungkin karena mereka takut akan keadaan
vila yang menyeramkan.
Tak lama kemudian, ada seorang
pemuda yang keluar dari vila tersebut. Tanpa menjawab salam dari Rahman, ia
menatap kami keheranan.
“Ada perlu apa kalian kesini?”.
Tanya pemuda itu dengan jutek.
“Maaf, Kang. Apa boleh kita numpang
istirahat di sini?”. Rahman meminta izin dengan baik pada pemuda itu.
“Gak bisa! Vila ini bukan milik
saya! Tapi milik Raden Rakata!”. Jawab pemuda itu dengan nada tinggi dan sorot
mata yang tajam.
“Tapi Kang, kita di sini lagi
ngalamin musibah.”. Jelas Rahman pada pemuda itu.
Tiba-tiba
Danti masuk ke halaman vila dan mencoba untuk meminta segelas air.
“Kita boleh minta minum enggak,
Kang?”. Tanya Danti.
“Gak ada minum! Sana pergi!”. Pemuda
itu tetap menyuruh agar kami keluar dari area vila.
Riani
yang terus memperhatikan setiap sudut vila itu melihat banyak kain putih yang
tengah dijemur di samping vila.
“Kang, kain-kain itu buat apa,
sih?”. Tanya Riani pada pemuda itu.
“Itu bahan buat bikin jas hujan!
Jangan ke sana! Cepat kalian semua pergi dari sini!.”. Terlihat pemuda itu
marah dan mengusir kami.
Dengan rasa kesal dan kecewa, kami
pergi dari vila itu. Sungguh badanku sangat lemas. Tetapi Rahman menyuruh kami
agar cepat pulang. Gonggongan suara anjing-anjing liar tadi sudah tak terdengar
lagi. Aku mengintip ke luar gerbang vila. Ternyata suasana sudah aman dan
terkendali. Entah mengapa, aku masih takut untuk beranjak keluar. Mungkin
karena aku masih trauma akan anjing liar itu.
Teman-teman sudah tak sabar ingin
mengakhiri perjalanan yang menjengkelkan ini. Tak lama, kami semua keluar dari
vila dan terus berlari menuju jalan umum. Kami harus melewati lagi jalan yang
menanjak. Oh kakiku, maafkan aku menyiksamu hari ini!
Setelah kami tiba di jalan umum yang
banyak dilewati orang-orang, kami semua duduk terdiam di pinggir jalan
tersebut. Rasa lelah, takut, kelaparan, dan kehausan itu masih saja terasa.
Penyesalan masih saja menyisa. Kami diam merenung sambil beristirahat.
Aku menyadari, lebah besar yang dari
tadi terus mengikuti rombongan kami itu masih ada. Dia terbang, lalu
berputar-putar di atas kepala kami. Lebah itu menuju ke arah jalan pulang. Aku
terus memperhatikannya. Lebah tersebut lalu terbang bolak-balik. Sepertinya, ia
tak mau meninggalkan rombongan kami.
“Hey, udah ada yang nyuruh pulang
tuh. Pulang yuk?”. Ajakanku pada teman-teman yang tengah duduk sambil melamun
“Siapa yang nyuruh pulang?”. Tanya
Lia.
“Udah lah, hayu cepetan kita pulang.
Nanti keburu ujan lagi.”. Rahman membangkitkan semangat kami untuk pulang ke
rumah masing-masing.
Kami
semua bangkit, lalu menempuh perjalanan pulang.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kami
bertemu dengan neneknya Ami yang baru saja pulang bekerja.
“Mi, kamu abis dari mana?”. Tanya
neneknya Ami.
“Neneeek! Kita tuh abis dari rumah
nenek. Tapi neneknya enggak ada. Semua rumahnya dikunci.”. Jelas Ami.
“Oh.. Terus sekarang mau ke mana?”.
Tanyanya lagi.
“Kita mau pulang, nek. Kita udah
capek berpetualang.”. Jawab Ami.
“Ya udah, hati-hati di jalan, ya!”.
Setelah bertemu dengan neneknya Ami,
entah mengapa perasaan mengganjal yang dari tadi hinggap di benakku itu hilang
seketika. Dari situ, kami semua bisa kembali bercanda tawa bersama.
Delapan menit sudah terlewati di
perjanan menuju gerbang Situ Gunung. Akhirnya sekarang kami sudah tiba di
sebuah warung kecil dekat gerbang. Kami membeli minuman dan makanan. Rasa lapar
dan haus yang dari tadi kami derita itu kini terbayarkan. Setelah kami keluar
dari gerbang Situ Gunung, lebah besar yang sejak pertama mengikuti kami pun
kembali ke lingkungan asalnya. Sepertinya, lebah tersebut adalah titipan untuk
memandu kami dalam setiap langkah.
Tidak jauh dari gerbang Situ Gunung,
kami beristirahat lagi di depan sebuah rumah. Di sana kami iseng dengan berfoto
bersama. Tak lama, ada angkutan umum yang lewat. Tanpa berpikir panjang, kami segera
naik dan pulang. Ditengah laju angkot, terlihat Agus dan Lani sedang berjalan
kewalahan. Ami yang sudah kepalang kesal pada mereka menyarankan agar mereka
berdua tidak diperkenankan ikut di mobil. Tetapi sopir angkot yang baik hati
itu tetap menyuruh Agus dan Lani ikut bersama kami. Sungguh sebuah perjalanan
yang menegangkan!
Dua minggu kemudian, kami semua
masuk sekolah. Ramainya suasana sekolah dengan cerita seputar petualangan kami
di Situ Gunung. Lalu kami menceritakan hal itu pada Maul yang memang merupakan
anak indigo. Setelah mendengar cerita tersebut, Maul menjelaskan bahwa
sebenarnya ular yang kami temui saat di perjalanan Situ Gunung itu bukan ular
asli. Itu hanya perwujudan jin nenek-nenek. Anjing-anjing liar yang
menggonggong saat di rumah neneknya Ami itu bukan mengejar kami, tetapi
mengejar jin yang ikut bersama rombongan. Dan vila yang kami datangi itu
sebenarnya adalah vila penculikan jiwa manusia.
“Nah, kali ini kalian beruntung
enggak jadi jalan ke danau.”. Kata Maul.
“Emangnya kalau kita ke danau, bakal
ada apaan?”. Tanyaku penasaran.
“Kalian gak bakal bisa pulang.
Sebab, ada jin yang bakalan memutar balikkan mata kalian.”. Jelasnya.
“Kalo lebah yang ngintil kita
terus?”. Ami bertanya tentang lebah besar yang terus mengikuti kami saat di
perjalanan Situ Gunung.
“Nah, kalo itu adalah titipan dari
salah satu kerabat kalian yang udah meninggal buat ngejagain kalian.”. Jelasnya
lagi.
Aku bersyukur, setelah kejadian itu
aku masih bisa pulang dan bertemu keluargaku lagi. Selepasnya, aku bisa lebih
berhati-hati dan tidak lagi memberontak saat diberitahu oleh orangtua.
URL : https://mimorbombom.blogspot.com/2013/03/petualangan-di-bawah-alam-sadar.html