Sabtu, 30 Maret 2013

Petualangan di Bawah Alam Sadar


            Rapor yang sudah ku nanti selama enam bulan itu kini telah berada di tangan kakakku. Kebetulan ibu sedang sibuk dan tak bisa datang ke sekolah. Kakakku yang tak suka acara orangtua itu langsung pulang setelah mengambil rapor, sedangkan aku masih di sekolah.
            “Hey, kita main yuk?”. Kata Danti mengajakku dan teman-teman untuk main.
            “Main kemana?”. Tanya teman-teman serempak.
            “Ke daerah Situ Gunung aja!”. Ira menyarankan tempat untuk bermain.
            “Tapi kita bilang dulu ke Bu Yati.” Kata Lani.
            “Oke!”.
Segera kami semua menghadap ke Bu Yati, wali kelas kami untuk meminta izin.
            “Bu, kita mau main ke daerah Situ Gunung.”. Bicara Lani pada Bu Yati. “Boleh enggak, Bu?”.
Bu Yati yang sedang merapikan buku-buku rapor itu tiba-tiba diam dan memandang ke arah kami. Dari pandangannya, terlihat bahwa Bu Yati tengah memikirkan sesuatu.
            “Jangan dulu, lah.”. Bu Yati melarang kami untuk bermain. “Lebih baik kita makan bareng aja di sini.”. Tambahnya menyarankan kami. “Daripada main, mending sekarang kalian pulang aja ke rumah masing-masing!”. Perintah Bu Yati membuat kami semua menjadi tak bersemangat. Jika kami semua pulang, mungkin pembagian rapor hari ini tak ada yang spesial. Biasanya, setelah pembagian rapor, kami pergi berlibur untuk menyegarkan pikiran dari tugas-tugas sekolah.
            Selepas itu, Lani langsung berbalik badan dan mendorong teman-teman ke luar dari kelas.
            “Bu Yati ngelarang.”. Bisiknya ditengah kerumunan teman-teman.
            “Yaaah.. gak seru!”. Gerutu Ira.
            “Terus gimana dong?”. Aku ikut bertanya.
            “Mending sekarang kita pergi aja langsung ke sana! Gak usah bilang ke Bu Yati.”. ajak Ira sambil berbisik.
            Teman-teman yang sudah tak sabar untuk bermain itu sangat setuju pada ide Ira. Dengan sembunyi-sembunyi, kami yang berjumlah hampir setengah kelas ini pergi ke luar sekolah dan mencoba untuk mencari angkutan umum. Perempuan berjumlah sepuluh orang dan laki-laki hanya dua orang, sedangkan teman-teman yang lain tidak ikut karena ada kepentingan lain.
            Kami yang bergerombol ini naik satu angkutan umum. Tak ada perbincangan antara kami dan sopir yang akan mengantar, karena kami sudah buru-buru dan langsung pergi berjelajah. Walau terasa sumpek karena berdesak-desakan, tapi kami nekat ingin pergi bermain. Selama rombongan kami berada dalam angkutan umum yang tengah berjalan, kami bercanda tawa, ceria bersama, sambil berbagi buah rambutan yang dibawa oleh Agus.
            Lama dalam perjalanan, tiba-tiba sopir angkot itu bertanya pada kami.
            “Mau pada kemana, nih?”. Tanya sopir angkot.
            “Mau ke Situ Gunung, Mang!”. Jawab Lani dengan lantang.
            “Wah, Jauh dong!”. Sopir angkot itu mulai menggerutu dan tiba-tiba saja menghentikan lajunya. Kami semua mulai khawatir dan kebingungan.
            “Lho, kok berhenti sih, Mang?!”. Kata Riani dengan tatapan yang heran.
            “Turun, turun, turun!”. Perintah sopir angkot itu mendorong kami agar segera turun. “Situ Gunung itu terlalu jauh!”. Teriak sopir angkot.
            Mendengar sopir angkot itu marah-marah, kami segera turun. Lalu sopir itu menagih uang ongkos yang harus kami bayar. Riani yang memegang uang ongkos dengan sigap memberikan seluruh uangnya pada sopir galak tersebut. Lembar demi lembar dihitung olehnya. Tak lama kemudian sopir itu berteriak.
            “Dasar bocah! Kurang nih uangnya!”. Gerutu sopir angkot.
Sungguh kami semua merasa jengkel. “Heh, Mang! Kalo mau lebih, anterin kita sampe tempat tujuan! Bukan nurunin kita disini! Dasar!”. Vinda ikut menggerutu.
            “Pokoknya bayar! Sudi amat nganterin sampe ke Situ Gunung! Paling juga gak bakal dibayar!”. Sopir angkot yang benar-benar menjengkelkan itu terus menggerutu.
            “Nih! Ambil semua! Dasar tua bangka ngejengkelin! Makan tuh duit!”. Riani yang sudah hilang kesabaran itu melemparkan semua uang pada sopir angkot. Tanpa waktu lama, setelah uang itu sudah berada di tangan sopir, dia langsung tancap gas dan pergi meninggalkan kami di tengah jalan yang begitu panjang.
            Kami diturunkan di daerah Cinumpang yang letaknya kurang lebih lima kilometer dari Situ Gunung. Tak ada kendaraan yang lewat. Jalan itu terasa sepi dan sunyi. Karena taka da jalan lain, perjalanan sangat tanggung. Bila kami pulang lagi, jalan lebih jauh dan tak ada angkutan. Sementara jarak perjalanan ke Situ Gunung juga masih sangat jauh. Dengan sangat terpaksa, kami semua harus berjalan. Sesekali, ada mobil box yang lewat.
            “Hey! Naik mobil yang itu aja!”. Kata Rahman sambil menunjuk ke arah mobil box yang hendak menuju ke arah kami. “Daripada capek jalan! Jauh tau!”. Rahman sepertinya sudah kewalahan.
            “Ya udah, tungguin aja disini.”. Jawabku.
Mobil itu berhenti di depan sebuah warung kecil pinggir jalan. Kami tetap menunggu mobil itu, namun sangat lama bagi mobil itu untuk melaju. Mungkin sopir mobil box itu sedang beristirahat.
            Lama kami menunggu, akhirnya mobil box itu melaju. Kami yang menanti di pinggir jalan segera bangkit, berniat untuk mencegatnya. Namun, saat mobil itu sudah berada tepat di depan kami, isi dari mobil box itu membatalkan niat tadi.
            “Aduh! Gak deh!”. Kata Ira. “Masa kita mau satu box sama sampah?!”. Tambahnya dengan raut wajah yang sungguh tak menginginkan kami naik mobil box itu.
            “Iya, ih! Jalan aja!”. Teriak Lani.
            “Capek tahu!”. Rahman yang sudah kewalahan itu terus mengeluh. “Aku mau pulang aja!”. Gerutunya bertambah.
            “Jangan pulang, dong! Nanti yang jagain kita siapa?!”. Bentak Vinda pada Agus dan Rahman.
            Suasana sepertinya mulai memanas.
            “Gara-gara tukang angkot tua bangka!”. Teriak Ami yang dari tadi terus menyalahkan sopir angkot tadi.
            “Ya udah, lah! Sekarang bawa seru aja! Jangan marah-marah terus! Niat kita kan mau liburan!”. Kata Danti.
Kami segera melanjutkan perjalanan ke Situ Gunung. Tak ada perasaan yang mengganjal. Kakiku terasa seperti mau patah! Jalanan berbelok-belok dan bergelombang itu sungguh menguras tenaga.
            Karena dibawa seru, akhirnya kami sedikit gila-gilaan. Kami berlagak seperti reporter TV yang sedang merekam peristiwa petualangan. Sementara aku menjadi seorang pemegang kamera. Lumayan, tak terlalu membuat kami kesal seperti tadi.
            Durasi video di posel Vinda pun telah habis. Kami memutar kembali video perjalanan yang berdurasi empat puluh lima menit itu. Setelahnya, ku kembalikan ponsel tersebut pada Vinda.
            Perjalanan yang suungguh melelahkan! Sebelas menit setelah itu, akhirnya kami sampai di gerbang Situ Gunung. Kami malah disambut oleh seekor lebah yang ukurannya cukup besar. Lebah itu terus mengikuti kami kemanapun kami beranjak. Aku, Ira, Riani, Wati, Danti, Vinda, dan Ami berjalan paling depan.
            “Eh, Lani, Lia, sama Rina mana?”. Tanya Ira yang dari tadi clengok mencari mereka bertiga.
Setelah kami sadar ternyata mereka tidak ada, ditambah Agus dan Rahman juga tak terlihat, kami berbalik arak ke belakang untuk mencari mereka. Tiba-tiba mereka berlarian kea rah kami dengan nafas yang terngengah.
            “Hey! Ada cowok yang ngejar-ngejar kita!”. Teriak Lani.
            “Cowok siapa?”. Tanyaku.
            “Gak tahu. Pokoknya penampilan mereka berandalan!”. Kata Lani.
Mendengar kabar yang sangat membahayakan itu, sontak kami menjadi panik. Tak tahu harus apa. Agus dan Rahman tetap tidak terlihat. Padahal, mereka yang paling bisa diandalkan untuk menjaga keselamatan kami.
            Kami berlarian untuk menghindari cowok-cowok berandalan itu. Kami terus memanjatkan do’a. Firasat tidak enak itu tiba-tiba mengganjal di benakku. Kami berhenti saat Rahman dan Agus berteriak dari arah belakang. Syukurlah, ternyata mereka masih ada.
            “Kalian kemana aja, sih?!”. Gerutu Riani. “Kalian harus di sini! Jangan dulu pulang! Jagain kita! Kita semua kan cewek!”. Riani terus memperingati Rahman dan Agus.
            “Iya, tenang aja! Kita gak bakalan pulang kok!”. Jawab Rahman.
            Kami terus melanjutkan perjalanan. Tujuannya sih, ingin sampai ke danau Situ Gunung dan berfoto bersama.
            “Eh, awas ada ular!”. Teriak Ira dan Vinda yang berjalan paling depan.
Mendengar ada ular, aku pun segera berhati-hati dalam perjalanan. Ular kecil yang bentuknya aneh. Rasa curiga itu benar-benar ular atau bukan pun mulai tumbuh. Tetapi kami semua bersikap wajar dan biasa saja untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, terutama di hutan macam ini.
            Di tengah jalan, ada dua jalur yang memaksa kami untuk menghentikan perjalanan. Di jalur tersebut, kami mulai merundingkan kemana tujuan yang benar-benar akan kami tuju. Jalur belok kiri adalah jalur menuju rumah neneknya Ami, sedangkan jalur lurus adalah jalan menuju ke danau Situ Gunung. Perbedaan pendapat pun terjadi. Ira dan Ami ingin ke jalur kiri, Rahman ingin ke danau, teman-teman yang lain masih bingung, sedangkan Lani dan Agus memaksa kami untuk pulang karena menurut mereka, cuaca sudah tidak mendukung.
            Lama kami berunding, akhirnya keputusan yang diambil adalah berjalan ke jalur lurus hingga sampai di danau. Namun baru saja aku melangkah, aku melihat benda jatuh dari atas pohon besar, tepat di depan mataku. Hal itu membuatku jadi teringat pada kata-kata kakakku. “Jika kita berada di dalam kebingungan saat perjalanan, terutama perjalanan di hutan dan melihat benda mati atau hidup yang terjatuh tepat di depan mata, lebih baik perjalanan itu jangan diteruskan karena itu merupakan pertanda yang tidak baik.”. Pepatah itu terus mengiang-ngiang di kepalaku.
            Mungkin dalam keadaan mistis seperti itu menjadi mudah bagiku mengingat hal-hal yang mistis pula. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengutarakan itu pada teman-teman.
            “Aku gak mau ke danau.”. Kataku dengan raut wajah yang tak berekspresi dan tatapan mata masih melihat ke arah jatuhnya benda tadi.
Teman-teman yang sedang berjalan itu langsung berhenti dan melihat ke arahku.
            “Kenapa?”. Tanya teman-teman.
Ku ceritakan sesuatu yang mengiang-ngiang di otakku. Teman-teman segera berbelok arah ke jalur kiri menuju ke rumah neneknya Ami, karena rumah neneknya Ami dirasa paling aman. Namun tetap saja perasaan yang mengganjal itu masih ada di benakku.
            “Tunggu!”. Teriak Riani.
            “Ada apa lagi?”. Tanya teman-teman.
            “Jujur deh! Sebenernya kalian ngerasa ada yang ngeganjal di hati gak?”. Pertanyaan Riani menandakan bahwa Riani juga sebenarnya merasa tidak enak hati.
            “Nah! Iya bener, Ri! Malahan dari tadi!”. Kataku.
            “Ya udah, gak apa-apa. Mendingan sekarang kita ke rumah neneknya Ami, biar aman.”. Saran Ira.
Kami semua berjalan kembali ke tujuan. Jalanannya yang menurun membuat kakiku semakin terasa seperti remuk! Sungguh menyiksa!
            Belum reda sakitnya kakiku setelah menempuh perjalanan yang menurun dan berbatu, kini kami harus berjalan lagi di jalan yang berlumpur dan licin. Belum lagi, ada anjing liar yang berkeliaran. Untung saja anjing itu tidak galak. Terlihat sebuah gerbang vila terbuka. Namun kami terus berjalan ke arah kiri, jalan kecil dengan permukaan tanah yang licin.
            Kami berhenti sejenak. Jika teman-teman tampak ribut dan sangat berisik, tapi suara Lani dan Agus Nampak tenggelam. Kami mencari keberadaan mereka berdua di antara barisan teman-teman. Tak diragukan lagi, mereka kabur disaat kami akan berjalan ke depan vila tadi. Menyebalkan! Saat kami semua saling menggerutu. Mereka masih saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Memang sih, dari awal mereka berdua sudah memaksa ingin pulang. Tapi kami sungguh tak menyangka merekan akan pulang dengan sembunyi-sembunyi.
            Setelah sampai di depan rumah neneknya Ami, suasananya menjadi sangat sunyi. Tak kami sangka bahwa dari total empat rumah, seluruhnya dalam keadaan kosong dan terkunci. Semangat kami pun kembali down. Sungguh malang ternyata nasib liburan kami hari ini.
            Kami hanya bisa duduk termenung di teras rumah-rumah itu.
            “Kita tuh kaya anak-anak nyasar!”. Kata Vinda dengan nada yang lemas.
            “Iya, ih! Coba aja kalo tadi kita nurut sama Bu Yati, pasti kita gak akan kaya gini.”. Tambah Riani.
            Ku tatap wajah teman-teman satu per satu. Semuanya sungguh mengenaskan. Suasananya yang sangat sepi sungguh membuat kami semakin lemas. Yang terdengar hanya suara jangkrik, burung gagak, dan naungan lebah besar yang dari tadi mengikuti kami. Jika aku perhatikan, lebah besar itu selalu mengintai kami kemanapun perjalanan kami di Situ Gunung. Ketika kami berjalan, lebah itu mengikuti kami. Bahkan ketika kami diam, lebah tersebut ikut diam dan hinggap di pepohonan yang ada di sekitar kami. Lebah itu seakan membawa suatu pesan yang tidak kami ketahui.
            “Fitri! Ngelamun terus!”. Kata-kata Rahman membuyarkan lamunanku. “Kamu pake kartu perdana yang sama kaya si Agus, kan?”. Tanyanya padaku.
            “Iya. Emangnya kenapa, Man?”. Tanyaku berbalik pada Rahman.
            “Punya pulsa gak? Coba telfon si Agus! Suruh balik lagi ke sini!”. Perintahnya padaku agar aku menghubungi Agus dan menyuruhnya kembali ke rumah neneknya Ami.
Ku keluarkan ponselku dari saku. Sayangnya baterai ponselku sudah hampir habis. Selain itu, tak terdapat sinyal yang nyantol. Ku coba menggoyangkan ponselku untuk mencari sinyal. Tak lama, ada satu sinyal yang ku dapat. Tanpa berpikir panjang, aku segera menghubungi Agus.
            “Gus, kamu dimana?!”. Teriakku dalam telepon.
            “Aku di jalan, Fit!”. Jawabnya dengan nafas yang ngos-ngosan.
            “Bego banget sih lu! Pulang gak izin sama kita!”. Ami yang sudah sangat kesal pada Agus itu memarahinya.
            “Maaf, ya! Kan perasaan aku gak enak. Terus cuacanya juga gak ngedukung.”. Banyak alasan yang dikeluarkan oleh Agus.
            “Ya udah, terserahlah kamu mau ngeluarin alasan apa! Yang jelas, tungguin kita di gerbang Situ Gunung! Kita gak mau tahu!”. Riani ikut membentak Agus.
            “Iya, siap!”. Jawab Agus seperti dalam keadaan yang baik-baik saja.
Dengan rasa kesal, Ami menekan tombol end call dari ponselku. Tak lama kemudian, ponselku mati karena baterainya habis.
            Suasana kembali hening. Teman-teman masih terdiam membisu dengan tatapannya yang kosong.
            “Hey, kalian haus gak?”. Tanya Ami.
            “Hauuuuuus banget, Mi.”. Jawab Rahman.
            “Ya udah, siapa yang mau nganter aku ke rumah sodara? Aku mau minta minum buat kalian.”. Ami meminta salah satu dari kami untuk mengantar ke rumah saudaranya yang berada di arah bawah. Jalanannya terus menuju ke bawah, ke tepi jurang yang dalam. Karena keadaan kami yang sangat haus dan lapar, akhirnya Vinda dan Ira bersedia mengantar Ami. Mereka bertiga turun ke tepi jurang tersebut. Tak lama, terdengar suara Vinda berteriak. Sontak teriakan Vinda membuat teman-teman menjadi panik.
            “Ada apa, Vin?”. Tanyaku pada Vinda dengan nada yang tinggi.
            “Anjingnya banyak!”. Teriak Vinda dari kejauhan.
Aku yang paling takut bila berhadapan dengan anjing pun menjadi semakin panik. Teman-teman yang semula duduk termenung, kini lari-lari tak karuan. Semuanya berlari saling-silang. Aku, Rina, dan Lia berlari menuju belakang rumah, Rahman berlari ke dekat pohon, Wati, dan teman-teman yang lain berlari menuju teras rumah yang ada di samping.
            Sungguh keadaan yang sangat menegangkan. Kami menunggu Vinda, Ira, dan Ami kembali. Tiba-tiba aku melihat seekor anjing berbulu cokelat yang datang dari samping kiriku. Anjing itu menggonggong padaku dan Lia, serta Rina. Dalam keadaan yang sudah sangat ketakutan, akhirnya aku, Lia, dan Rina berlari menuju ke tempat Wati dan teman-teman mengamankan diri. Ternyata anjingnya ada lebih dari satu. Tubuhku gemetar, aku ketakutan, apalagi jika harus berhadapan dengan anjing liar yang jumlahnya lumayan banyak. Setelah Vinda, Ira, dan Ami kembali, kami semua berlari menghindari anjing-anjing liar tersebut. Jalanan licin itu kami lewati dengan cepat. Kami semua berlari di jalan yang sangat kecil. Tak sedikit dari kami yang jatuh terpeleset. Tetapi kami harus bangkit dengan segera agar tidak tertinggal.
            “Masuk ke vila! Cuma itu tempat yang aman buat sembunyi dari anjing! Mumpung gerbangnya buka!”. Teriak Rahman memperingati kami agar kami langsung masuk ke vila.
            Kami berhenti berlari dan segera masuk ke vila tersebut. Di balik gerbang vila itu, kami berunding. Sebagian lagi, ada yang beristirahat.
            “Terus sekarang mau ngapain?”. Tanya Danti dengan nafas yang terngengah dan memegang lututnya.
            “Aduh.. gak tahu mau apa, nih. Yang jelas diem dulu aja sebentar di sini. Istirahat bentar aja. Anjingnya masih ngegonggong tuh.”. Jawabku menyarankan.
Rahman, satu-satunya cowok dalam rombongan itu menuju ke halaman vila yang luas dan panjang.
            “Man, kamu mau kemana?”. Teriakku pada Rahman yang sudah lumayan jauh berjalan.
            “Mau minta izin buat diem di sini sebentar!”. Jawabnya.
Riani menatapku dan mengajakku untuk mengikuti Rahman.
            “Ikut masuk yuk, Fit.”. Ajak Riani padaku.
Dengan tubuh yang lemas, aku mengiyakan ajakan Riani. “Iya, Ri.”. Jawabku singkat.
            Aku dan Riani berjalan masuk ke halaman vila mengikuti Rahman. Rasa yang mengganjal itu kembali terasa di benakku. Jika aku perhatikan, vila itu begitu menyeramkan. Vila tersebut memiliki halaman yang panjang dan luas, serta ruangan vilanya ada di atas. Bila kami ingin masuk, kami harus melewati beberapa anak tangga. Ku perhatikan, tangga-tangga kayu yang ada di luar untuk menuju masuk ke dalam vila itu sudah sangat kotor, rapuh, dan berlumut. Atap vila itu sudah dipenuhi sarang laba-laba. Keadaannya sangat sepi, sunyi, dan keadaannya pun sangat dingin. Di balik sepinya vila itu, aku merasa ada yang memperhatikanku dari atas vila. Aku terus melihat ke segala arah, tetapi sungguh tak ada orang selain rombongan kami.
            “Serem banget vilanya, Fit.”. Bisik Riani.
            “Iya, Ri. Aku ngerasa kaya ada yang merhatiin kita. Tapi dilihat-lihat, tidak ada.”. Kataku.
            “Iya bener tuh, Fit.”. Riani juga merasakan hal yang sama sepertiku.
Aku dan Riani menyusul Rahman yang sudah memimpin paling depan.
            “Assalamualaikum..”. Rahman mengucapkan salam, berharap ada orang di vila itu.
            “Fit, lampu luarnya aja nyala. Pasti gak ada orangnya.”. Kata Riani berbisik padaku.
            “Iya, Ri. Tapi coba dulu aja, deh. Siapa tahu ada yang nyaut.”. Jawabku.
            “Assalamualaikum..”. Rahman mengucapkan salam untuk yang kedua kalinya. Tetap tidak ada jawaban yang kami dengar.
            “Assalamualaikum..”. Ketiga kalinya Rahman mengucapkan salam.
            “Hei! Udah tiga kali salam tapi gak ada yang ngejawab, berarti udah aja kita pergi dari vila ini.”. Teriak Danti yang dari tadi tak ingin masuk ke halaman vila. Entah mengapa teman-teman yang lain tak ingin menginjak halaman vila. Mungkin karena mereka takut akan keadaan vila yang menyeramkan.
            Tak lama kemudian, ada seorang pemuda yang keluar dari vila tersebut. Tanpa menjawab salam dari Rahman, ia menatap kami keheranan.
            “Ada perlu apa kalian kesini?”. Tanya pemuda itu dengan jutek.
            “Maaf, Kang. Apa boleh kita numpang istirahat di sini?”. Rahman meminta izin dengan baik pada pemuda itu.
            “Gak bisa! Vila ini bukan milik saya! Tapi milik Raden Rakata!”. Jawab pemuda itu dengan nada tinggi dan sorot mata yang tajam.
            “Tapi Kang, kita di sini lagi ngalamin musibah.”. Jelas Rahman pada pemuda itu.
Tiba-tiba Danti masuk ke halaman vila dan mencoba untuk meminta segelas air.
            “Kita boleh minta minum enggak, Kang?”. Tanya Danti.
            “Gak ada minum! Sana pergi!”. Pemuda itu tetap menyuruh agar kami keluar dari area vila.
Riani yang terus memperhatikan setiap sudut vila itu melihat banyak kain putih yang tengah dijemur di samping vila.
            “Kang, kain-kain itu buat apa, sih?”. Tanya Riani pada pemuda itu.
            “Itu bahan buat bikin jas hujan! Jangan ke sana! Cepat kalian semua pergi dari sini!.”. Terlihat pemuda itu marah dan mengusir kami.
            Dengan rasa kesal dan kecewa, kami pergi dari vila itu. Sungguh badanku sangat lemas. Tetapi Rahman menyuruh kami agar cepat pulang. Gonggongan suara anjing-anjing liar tadi sudah tak terdengar lagi. Aku mengintip ke luar gerbang vila. Ternyata suasana sudah aman dan terkendali. Entah mengapa, aku masih takut untuk beranjak keluar. Mungkin karena aku masih trauma akan anjing liar itu.
            Teman-teman sudah tak sabar ingin mengakhiri perjalanan yang menjengkelkan ini. Tak lama, kami semua keluar dari vila dan terus berlari menuju jalan umum. Kami harus melewati lagi jalan yang menanjak. Oh kakiku, maafkan aku menyiksamu hari ini!
            Setelah kami tiba di jalan umum yang banyak dilewati orang-orang, kami semua duduk terdiam di pinggir jalan tersebut. Rasa lelah, takut, kelaparan, dan kehausan itu masih saja terasa. Penyesalan masih saja menyisa. Kami diam merenung sambil beristirahat.
            Aku menyadari, lebah besar yang dari tadi terus mengikuti rombongan kami itu masih ada. Dia terbang, lalu berputar-putar di atas kepala kami. Lebah itu menuju ke arah jalan pulang. Aku terus memperhatikannya. Lebah tersebut lalu terbang bolak-balik. Sepertinya, ia tak mau meninggalkan rombongan kami.
            “Hey, udah ada yang nyuruh pulang tuh. Pulang yuk?”. Ajakanku pada teman-teman yang tengah duduk sambil melamun
            “Siapa yang nyuruh pulang?”. Tanya Lia.
            “Udah lah, hayu cepetan kita pulang. Nanti keburu ujan lagi.”. Rahman membangkitkan semangat kami untuk pulang ke rumah masing-masing.
Kami semua bangkit, lalu menempuh perjalanan pulang.
            Di tengah perjalanan, tiba-tiba kami bertemu dengan neneknya Ami yang baru saja pulang bekerja.
            “Mi, kamu abis dari mana?”. Tanya neneknya Ami.
            “Neneeek! Kita tuh abis dari rumah nenek. Tapi neneknya enggak ada. Semua rumahnya dikunci.”. Jelas Ami.
            “Oh.. Terus sekarang mau ke mana?”. Tanyanya lagi.
            “Kita mau pulang, nek. Kita udah capek berpetualang.”. Jawab Ami.
            “Ya udah, hati-hati di jalan, ya!”.
            Setelah bertemu dengan neneknya Ami, entah mengapa perasaan mengganjal yang dari tadi hinggap di benakku itu hilang seketika. Dari situ, kami semua bisa kembali bercanda tawa bersama.
            Delapan menit sudah terlewati di perjanan menuju gerbang Situ Gunung. Akhirnya sekarang kami sudah tiba di sebuah warung kecil dekat gerbang. Kami membeli minuman dan makanan. Rasa lapar dan haus yang dari tadi kami derita itu kini terbayarkan. Setelah kami keluar dari gerbang Situ Gunung, lebah besar yang sejak pertama mengikuti kami pun kembali ke lingkungan asalnya. Sepertinya, lebah tersebut adalah titipan untuk memandu kami dalam setiap langkah.
            Tidak jauh dari gerbang Situ Gunung, kami beristirahat lagi di depan sebuah rumah. Di sana kami iseng dengan berfoto bersama. Tak lama, ada angkutan umum yang lewat. Tanpa berpikir panjang, kami segera naik dan pulang. Ditengah laju angkot, terlihat Agus dan Lani sedang berjalan kewalahan. Ami yang sudah kepalang kesal pada mereka menyarankan agar mereka berdua tidak diperkenankan ikut di mobil. Tetapi sopir angkot yang baik hati itu tetap menyuruh Agus dan Lani ikut bersama kami. Sungguh sebuah perjalanan yang menegangkan!
            Dua minggu kemudian, kami semua masuk sekolah. Ramainya suasana sekolah dengan cerita seputar petualangan kami di Situ Gunung. Lalu kami menceritakan hal itu pada Maul yang memang merupakan anak indigo. Setelah mendengar cerita tersebut, Maul menjelaskan bahwa sebenarnya ular yang kami temui saat di perjalanan Situ Gunung itu bukan ular asli. Itu hanya perwujudan jin nenek-nenek. Anjing-anjing liar yang menggonggong saat di rumah neneknya Ami itu bukan mengejar kami, tetapi mengejar jin yang ikut bersama rombongan. Dan vila yang kami datangi itu sebenarnya adalah vila penculikan jiwa manusia.
            “Nah, kali ini kalian beruntung enggak jadi jalan ke danau.”. Kata Maul.
            “Emangnya kalau kita ke danau, bakal ada apaan?”. Tanyaku penasaran.
            “Kalian gak bakal bisa pulang. Sebab, ada jin yang bakalan memutar balikkan mata kalian.”. Jelasnya.
            “Kalo lebah yang ngintil kita terus?”. Ami bertanya tentang lebah besar yang terus mengikuti kami saat di perjalanan Situ Gunung.
            “Nah, kalo itu adalah titipan dari salah satu kerabat kalian yang udah meninggal buat ngejagain kalian.”. Jelasnya lagi.
            Aku bersyukur, setelah kejadian itu aku masih bisa pulang dan bertemu keluargaku lagi. Selepasnya, aku bisa lebih berhati-hati dan tidak lagi memberontak saat diberitahu oleh orangtua.
URL : https://mimorbombom.blogspot.com/2013/03/petualangan-di-bawah-alam-sadar.html

Kamis, 28 Maret 2013

Cara Mengatasi Malas Belajar

Malas Belajar ??

Bagi para pelajar, biasanya rentan dan sangat mengenal malas belajar. Tetapi, malas belajar sebenarnya tidak penting. Malas saat belajar hanya dapat mencelakai diri sendiri. Karena rasa malas yang tinggi, IQ menjadi mengalami penurunan yang cukup drastis. Coba bandingkan prestasi orang yang malas belajar dengan orang yang rajin belajar. Prestasi pada orang yang rajin belajar akan jauh lebih baik.

Sebenarnya banyak pelajar yang ingin menjadi orang rajin. Kadang, tekad pertama dalam schedule-nya adalah belajar yang rajin. Akan tetapi, ketika membuka buku, rasa malas datang menghampiri dan menguasai seluruh tubuhnya. Apalagi jika harus membaca buku yang tebal dan tidak bergambar. Kesannya bosan dan menganggap buku itu tidak menarik.

Lalu bagaimana agar rasa malas itu pergi??

Cara menghilangkan rasa malas saat beajar sebenarnya mudah. Jika diniatkan, maka semuanya akan berjalan lancar dan menyenangkan. Berikut adalah cara-cara menghilangkan rasa malas saat belajar.

1) Niatkan dalam Hati
Niat yang sudah tertanam dalam hati akan menunjang semua kegiatan. Dengan niat yang baik dan benar, kegiatan apapun akan terlaksanakan, termasuk dalam belajar. Selain itu, merubah diri juga diawali dari berniat yang sungguh-sungguh.

2) Tidak Memandang Sebuah Pelajaran itu Susah
Saat kita berkata "susah" pada suatu pelajaran, secara tidak sadar bahwa kita sedang mengutuk suatu pelajaran menjadi benar-benar susah dan tentunya kita sendiri juga susah mengerjakannya. Katakanlah "mudah" pada segala hal, karena itu akan membuat pikiran kita menjadi mudah dan kita terbawa santai saat mengerjakannya.

3) Percantiklah Buku Catatan
Dengan mempercantik buku catatan, maka kita akan sangat tertarik untuk membacanya. Percantiklah dari sampul, tulisan yang bergambar, balpoin warna-warni, dan kreasi lainnya. Jika kita membaca buku yang seluruhnya berisi tulisan hitam, tidak bergambar, dan tidak menarik, maka kita sendiri akan merasa malas membacanya. Selain itu, membaca buku yang menurut kita tidak menarik itu akan membuat otak sulit mencerna materi yang sudah dibaca. Cara mempercantik buku catatan ini juga sekaligus memanjakan mata dan otak.

4) Matikan TV, Ponsel, dan Elektronik Lainnya
Ketika kita sedang belajar, kita harus fokus dan tetap pada pelajaran. Jika kita belajar tanpa mematikan alat elektronik, maka pikiran kita akan terfokus pada dua hal. Itulah yang menyebabkan otak menjadi sulit mencerna pelajaran. Terlebih, jika belajar sambil SMS-san, bisa jadi kita lebih fokus pada SMS daripada pelajaran.

5) Lihatlah Orang yang Lebih Pintar
Mengapa harus melihat orang yang lebih? Agar kita termotivasi untuk bangkit. Dengan melihat orang yang lebih pintar, maka kita akan sadar bahwa ternyata kita masih berada jauh dibawah. Dengan begitu, kita akan terpacu untuk maju dan terus berusaha mengejar.
URL : https://mimorbombom.blogspot.com/2013/03/menghilangkan-rasa-malas-belajar.html

Manfaat Daun Kemangi

Daun Kemangi sering diketahui hanya sekedar untuk menambah kenikmatan dalam memasak atau mungkin hanya sebatas untuk lalapan. Kemangi atau ocimum menyimpan banyak manfaat dibalik rasa yang enak dan aroma wanginya.

Kalau di Eropa, kemangi sering dimanfaatkan untuk berbagai bahan obat-obatan. Kemangi disuling dan diambil minyak atsirinya. Karena minyak atsiri kemangi banyak digunakan sebagai bahan Campuran pembuatan obat ataupun untuk perawatan tubuh seperti sabun mandi, biang parfum, body lotion, minyak gosok, permen pelega tenggorokan, dan juga minyak aroma terapi. Untuk manfaat mengetahui manfaat kemangi yang lebih detail, simak terus uraian dibawah ini yang dikutip dari okezone dan kompas.

Berikut adalah manfaat dari daun kemangi.

1) Daun kemangi untuk demam dan masuk angin pada Balita. Caranya : Ambil beberapa daun kemangi, kemudian diremas bersama bawang merah dan minyak kelapa, lali dioleskan ke perut, dada, dan punggung, Akan mengatasi perut kembung/masuk angin dan deman pada anak balita.

2) Bisa untuk memperlancar ASI. Konsumsi langsung / buat lalap daun kemangi segar dipercaya dapat mencegah bau badan dan bau mulut, serta memperlancar ASI.

3) Kemangi dapat menunda menopouse. Kandungan Zat triptofan pada daun kemangi bisa menunda monopause. Jadi perbanyak konsumsi kemangi jika ingin menunda massa menopouse.

4) Kemangi bisa mencegah kemandulan. Kandungan zat arginin dalam daun kemangi bisa mencegah kemandulan, baik pria atau wanita.

5) Membunuh jamur penyebab keputihan. Kandungan senyawa eugenolnya dapat membunuh jamur penyebab keputihan.

6) Membantu pematangan sel telur (ovulasi) : Kandungan Zat stigmaasterol dalam kemangi merangsang pematangan sel telur (ovulasi).

7) Sebagai Anti Peradangan. Kandungan zat cineole, myrcene dan eugenol berfungsi sebagai antibiotik alami dan antiperadangan.

8) Memelihara kesehatan Jantung. Kandungan betakaroten dan magnesium pada kemangi, yang merupakan mineral penting yang berfungsi menjaga dan memelihara kesehatan jantung.

9) Meningkatkan fungsi pembuluh darah nadi (artery) pada pasien stroke. Kandungan isoflavon pada kemangi dan juga terdapat pada kacang-kacangan seperti kedelai, buncis, kacang polong, dapat meningkatkan fungsi pembuluh darah nadi (artery) pada pasien stroke.

10) Daun kemangi terbukti ampuh untuk menyembuhkan untuk sakit kepala, pilek, diare, sembelit, cacingan, dan gangguan ginjal. Pengobatan menggunakan daun kemangi, yaitu dapat mengatsi sakit maag, perut kembung, masuk angin, kejang-kejang, dan badan lesu. Selain itu, aroma kemangi dapat menolak gigitan nyamuk.

Kemangi yang disuling dimanfaatkan untuk mengatasi gangguan pencernaan seperti salah cerna, muntah-muntah, infeksi usus, radang lambung, serta gas dalam usus. Juga, gangguan kepala (seperti sakit telinga, demam, sakit saluran hidung, migrain), gangguan otot (kejang-kejang atau kram), dan gangguan saraf (kecemasan, depresi, histeria, lemah saraf, insomnia).

Banyak manfaat yang kita dapatkan dibalik wangi daun kemangi. Bisa sangat merugi jika kita tidak mengkonsumsi daun kemangi yang banyak ditemukan disekitar kita. Bagi yang tidak suka daun kemangi, mulai saat ini coba untuk suka mengkonsumsi daun kemangi. Karena Manfaat Daun Kemangi sangat berlimpah.
URL : https://mimorbombom.blogspot.com/2013/03/manfaat-daun-kemangi.html