Sabtu, 26 Mei 2012

Dia Ada di Sampingmu!

        Radi, sahabat cowokku yang playboy. Aku dan Radi sudah berteman sejak SD, sampai sekarang kelas 2 SMA. Aku dan dia masih satu kelas. Mungkin kebanyakan orang merasa bosan jika bertahun - tahun satu kelas dengan teman lama. Tapi aku tidak.
        Banyaknya kisah hidup Radi yang dia ceritakan padaku -entah itu tentang keluarga, kisah cintanya, atau keuangannya- membuatku terpaksa harus memendam perasaan cinta padanya. Diam - diam, aku menyukainya dari sejak duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku tahu, cowok ganteng yang playboy itu memang kadang sering menyakiti hati banyak cewek. Namun meski ia playboy, dia tidak pernah menduakan cewek.
        Aku hanya menjadi tempat curhatnya. Sia selalu memanggilku 'sobat', tapi dia memanggil 'sayang' pada orang lain. Tak heran jika banyak mantan, pacar, atau bahkan fans-nya yang ikut bertanya atau menceritakan hubungannya dengan Radi. Aku hanya bisa mendengarkan ocehan mereka. Meski kadang ada juga pengalamannya dengan Radi yang membuat aku patah hati. Tak apalah.. Sudah biasa bagiku.
        Kadang banyak juga yang mengira aku berpacaran dengan Radi. Mungkin karena aku selalu ada bersama Radi. Jalan - jalan dengan pacarnya sekalipun, aku selalu dipaksa Radi untuk ikut. Sebal rasanya jika aku melihat orang yang aku cintai, so sweet - so sweetan dengan orang yang dia cintai, dalam artian aku selalu menjadi 'kambing conge'.
        "Cha, hari ini gue ada jalan ke mall sama Siska. Lo ikut ya! Jangan lupa bawa mobil lo kayak biasa!". Isi SMS dari Radi.
Lagi - lagi aku harus jadi 'kambing conge'! Entah karena tumbuh rasa cinta atau apa.. Aku selalu menerima setiap ajakan Radi. Meski sebenarnya itu bisa membuatku patah hati. Yang jelas, aku bisa bersama Radi.
        "Jam berapa?".
        "Entar siang, jam satuan.".
        "OK, sip!".
*  *  *  *
        "Non Valcha, ada Radi di depan.". Kata bi Ira dengan tergopoh - gopoh karena sudah naik tangga.
        "Oh.. Iya, bi.".
Segera aku bergegas ke garasi dan menyalakan mobil. Ku antar Radi menjemput Siska.
        "Rad, kapan lo putus sama Hani?".
        "Waktu malem.".
        "Siapa yang mutusin?".
        "Gue.".
        "Kenapa lo putusin? Baru aja pacaran dua minggu!".
        "Gue kesel sama dia. Selalu marah - marah gak jelas sama gue.".
        "Terus, sejak kapan lo jadian sama Siska?".
        "Tadi pagi.".
Dasar cowok ganteng! Gak tahan apa, jomblo semalem? Aku aja tahan ngejomblo sampe bertahun - tahun.
        "Eh, entar kalo udah sampe depan rumahnya Siska, ganti gue yang nyetir ya! Kayak biasa, lo pindah ke jok belakang.".
        "Iya, gue juga tahu!".
        "Senyum dulu dong, neng!".
Ku lebarkan bibirku hingga membentuk bibir smiley.
        "Haha.. Gitu dong, nona!". Kata Radi sambil mengusap kasar kepalaku.
Rasanya memang letih jika harus terus membohongi perasaan sendiri.
        Sampai di depan rumah Siska, Radi menyalakan klakson mobilku berkali - kali. Siska keluar dari rumahnya dengan menggunakan dress pink yang sangat feminim. Aku segera pindah ke jok belakang. Radi membukakan pintu mobil untuk Siska, dan masuk kembali ke jok stirnya, di samping Siska.
        Aku hanya diam melihat mereka berdua. Radi, andaikan kamu tahu perasaanku! Hancur melihatmu dengan sejumlah cewek. Sampai - sampai aku hafal semua mantannya yang berjumlah 31 orang itu.
*  *  *  *
        Sesampainya di mall, Radi memparkir mobilku di lapangan tempat parkir. Radi kembali membukakan pintu mobil untuk Siska, menggenggam tangannya yang mulus itu, lalu berjalan masuk ke mall.
        "Pasangan yang serasi!". Gerutuku dalam mobil.
        Siska memang cewek cantik, feminim, dan modis. Berbeda dengan aku yang tomboy dan cuek. Tapi kebanyakan orang memanggilku si 'tomboy imut'. Mungkin Siska memang pasangan yang pas untuk Radi. Namun pastinya, hubungan mereka gak akan lama. Aku hafal betul sifat Radi.
        Lamanya aku menunggu di mobil, sungguh terasa bosan. Aku berjalan - jalan sebentar keluar untuk kembali menyegarkan fikiranku. Karena lapar, aku membeli beberapa donat yang tersedia di kios dekat mall. Donat dengan topping coklat, makanan favoritku sejak dulu hingga sekarang.
        Panas terik matahari siang kali ini sungguh menyengat. Aku putuskan untuk masuk kembali ke dalam mobil. Ku lahap donat yang baru saja ku beli dengan lahap. Satu per satu donat itu ku habiskan, dan akhirnya habis semua. Karena banyak makan, aku jadi mengantuk. Lalu aku tertidur dalam mobil.
*  *  *  *
        "Woy! Bangun, Cha!".
Radi membangunkanku dari tidurku yang lelap.
        "Iya, iya!".
Ku lihat Radi masih bersama Siska. Ternyata sudah sore.
        "Nih, biar seger!". Radi memberiku Ice Cream dengan topping coklat brownies kesukaanku.
        "Sini, sini!". Ku ambil Ice Cream itu dari tangan Radi. "Gratis nih?".
        "Iya! Itung - itung pinjem mobil.".
Siska hanya tersenyum padaku sejenak dan kembali ke pandangan Radi. Sungguh cemburu ku melihatnya. mereka saling pandang. Sedangkan aku? Hanya makan Ice Cream sambil memperhatikan mereka? Patah hati yang ada!. Radi segera tancap gas mengantarkan Siska pulang ke rumahnya.
        Perjalanan yang menyebalkan! Siska begitu jutek padaku. Aku tahu, aku memang tak se-modis dia. Tapi hargailah aku sedikit saja yang sudah meminjamkan mobilku pada Radi untuk berjalan dengannya. Jauh beda dengan Hani ketika masih menjadi pacar Radi. Hani tidak jutek seperti Siska padaku. Mungkin Siska tidak suka akan kehadiran 'kambing conge' yang ngintil mereka berpacaran. Terserahlah!
        Sesampainya di rumah Siska, Radi segera membukakan pintu mobil lagi untuk Siska. Sebelum Siska masuk ke dalam rumahnya, Radi sepertinya menyampaikan sesuatu pada Siska. Ku lihat dari arah jendela mobil. Radi tetap menggenggam tangan Siska. Lagi - lagi cemburu yang aku rasakan. Dengan wajah cemberut, aku berpindah posisi menjadi pengemudi.
        Setelah mereka berdua sudah selesai dengan acara bincang - bincangnya, Radi masuk ke mobil dan duduk di sampingku. Raut wajahnya yang ganteng itu terlihat kusut.
        "Kenapa lagi, Rad?".
        "Gue putus sama Siska.". Jawab Radi sambil menundukkan kepala.
        "Putus? Siapa yang mutusin? Baru aja satu hari!".
        "Iya! Siska yang mutusin gue.".
        "Kenapa dia mutusin lo?".
        "Katanya gue tuh playboy.".
        "Terus, kalo dia tahu lo playboy, kenapa dia merima lo?".
        "Gue gak tahu. Jujur gue patah hati, brow!".
        "Karma!". Teriakku pada Radi.
        "Maksud lo?".
        "Iya, dulu kan waktu lo juga pernah pacaran satu hari sama Ghea. Ghea beneran sayang sama lo, tapi lo malah mutusin dia. Dan alasan lo mutusin Ghea, karna dia playgirl, kan?". Bicaraku lantang pada Radi. Mungkin karena tadinya aku sempat dibuat cemburu.
        "Ok! Iya gue udah ngerasain karma!". Radi membalas teriakan dariku.
Aku segera menjalankan mobil dengan santai. Ku lihat wajah Radi masih tampak kusut.
        "Cha, gue capek jadi playboy.". Tiba - tiba Radi menjadi seperti kelemasan.
Akhirnya kata - kata yang aku tunggu sejak dulu itu keluar dari mulut Radi. Ku hentikan laju mobil dan menatap wajah Radi.
        "Apa? Lo capek jadi playboy?".
        "Iya! Apa lo bisa bantuin gue supaya gue jadi cowok setia?".
        "Bisa. Tapi gue gak yakin kalo lo bisa setia sama satu cewek.".
        "Ayolah! Gue bakal tunjukin sama lo, kalo gue bisa jadi cowok setia!". Ucapnya yang penuh dengan keyakinan. "Please bantuin gue!".
        "Coba lo tembak salah satu cewek yang ada di dekat lo, dan buktiin kesetiaan lo. Gue yakin lo juga pasti bisa.". Saranku pada Radi yang sesungguhnya menunjukan aku ingin ditembak oleh Radi.
        "Ok! Gue pasti bisa!". Wajah Radi yang tadinya kusut, kini jadi sedikit ceria dengan penuh keyakinan.
Aku sungguh senang mendengar kata - kata dari Radi saat ini. Semoga bukan omong kosong lagi seperti waktu kelas 3 SMP.
        Ku antar Radi pulang ke rumahnya. Lalu aku segera kembali ke rumah. Mulutku dan hatiku bisa tersenyum seketika. Tak seperti biasanya batin ini kompak. Biasanya di mulut tersenyum, namun di hati aku bersedih.
        "Dari mana, Cha?". Tanya mama kepadaku.
        "Dari mall, ma.".
Aku segera naik ke kamarku dan menutup rapat pintunya. Ku ambil buku harianku yang ada di laci meja belajar.

22 Januari 2012
Dear Diary,
Hari minggu ini Radi telah mengucapkan bahwa ia tak ingin lagi menjadi seorang playboy. Aku berharap, cewek yang akan ditembaknya adalah aku. Meski ini masih sebuah harapan, namun semoga saja ini adalah keajaiban.
*  *  *  *
        Hari ini, aku berdo'a agar harapanku bisa tercapai. Ku tarik nafasku dalam - dalam, dan mengeluarkannya dengan sedikit senyuman di bibir. Ku lihat ke arah jendela, ternyata Radi sudah datang untuk berangkat sekolah bersama. Dengan wajah ceria, aku pamit pada papa dan mama. Lalu aku segera pergi bersama Radi.
        "Gak bawa mobil, Cha?". Tanya Radi.
        "Enggak. Emang kenapa?".
        "Bawa dong!".
        "Gak ah! Males!".
Sebenarnya, niatku tidak menggunakan mobil karena aku ingin jalan dengan Radi agak lama. Jarang - jarang aku menusuri jalan seperti ini dengan Radi. Paling cuma di mobil. Sedikit aku ingin mengulang masa lalu bersamanya.
        "Lo udah dapet sasaran cewek?". Tanyaku penasaran.
        "Udah dong! Malah gue udah jadian sama dia pas malem!". Jawab Radi dengan wajah yang sangat ceria. Mungkin ia berbunga - bunga.
        "Apa? Udah jadian?". Nada suaraku meninggi dan wajahku langsung suram.
        "Iya! Gue seneng banget!".
Jika memang Radi bahagia, aku turut bahagia. Namun jika soal cinta, selalu saja aku yang patah hati.
        "Oh.. Selamet deh. Emang sama siapa?".
        "Sama Lita.". Wajah Radi sungguh berseri - seri. "Pokoknya, gue bakal setia sama dia!".
        "Rad, gue ikut seneng kalo lo juga seneng. Tapi gue gak yakin lo bakal bahagia sama Lita. Lo tahu kan sifat dia kayak gimana. Dia itu pemain cowok, Rad!".
        "Jadi gak boleh nih? Masa gue harus mutusin dia lagi?! Gue tuh udah sayang sama Lita!".
Kata - kata Radi sungguh menggores luka di hatiku. Ternyata dia memang benar - benar mencintai Lita. Dia pun berjanji akan setia padanya. Tak ada lagi harapan bagiku. Usaikanlah sudah semua perasaan ini, oh Tuhan!
        "Ya udahlah! Terserah lo aja!". Bentakku pada Radi sambil berjalan dengan cepat.
Radi mengejarku dan mengenggam lenganku.
        "Lo kenapa sih?! Kenapa lo gak suka gue jadian sama Lita?!".
        "Karna dia gak pantes buat lo!". Ku tarik kembali lenganku dan berjalan dengan lebih cepat.
Ku rasa, Radi sudah tak mengikutiku lagi.
*  *  *  *
        Sampai di sekolah, aku duduk di bangku dan terdiam membisu. Tuhan tidak mengabulkan do'aku.
        "Cha, lo kenapa sih?". Radi duduk di depanku.
        "Hmmm.. Gue gak kenapa - napa kok. Oh iya, maafin gue, ya. Tadi gue udah bentak - bentak lo di jalan. Lo cocok kok, sama Lita.". Raut wajahku nampak dengan senyuman.
        "Iya, Cha.".
Radi pergi meninggalkanku keluar kelas, dan kembali masuk bersama Lita, pacar barunya. Keduanya tampak berseri - seri. Sungguh aku cemburu :(
        Melihat mereka berduaan, aku menjadi semakin panas. Aku putuskan untuk keluar kelas saja. Mungkin aku bisa sedikit lebih tenang di luar sana. Tak lama, aku lihat Lita keluar dari kelas. Lita.. Cewek manis yang terkenal 'rajin' mempermainkan cowok! Aku tak ingin Lita mempermainkan Radi. Radi sudah berniat untuk setia padanya. Tapi mengapa harus Lita? Mengapa tidak aku saja yang sudah tentu bisa setia?!
        Lita mendekati Farid yang sedang duduk di teras kelas. Ku perhatikan, mereka bercanda tawa. Radi keluar kelas dan duduk di sampingku. Ku dengar farid berteriak..
       "Lita, kamu mau yah, jadi pacar aku?!".
Sontak semua teman - teman yang ada langsung memperhatikan mereka. Lita yang tangannya dalam keadaan digenggam Farid itu tersenyum - senyum. Ku lihat wajah Radi yang ada di sampingku. Wajahnya tampak memerah.
        Entah tidak sadar kalau Lita sudah mempunyai Radi, ataukah lupa?. Lita menerima cinta Farid. Radi yang semula ada di sampingku, pergi menuju ruang kesenian. Tak tahu mau apa. Aku tidak bisa mengikuti Radi, karena bel masuk sudah berbunyi. Mungkin Radi akan kembali lagi ke kelas.
        Sudah satu jam pelajaran berlalu, aku tak melihat Radi kembali ke kelas. Aku tahu, Radi pasti sangat sakit hati dan kecewa pada Lita yang 'watados' (wajah tanpa dosa) itu. Sudah pasti dia akan menangis. Niatnya yang ingin menjadi cowok setia itu malah dikhianati oleh Lita. Yang aku lihat, Lita tenang - tenang saja tanpa pikiran. Benar - benar tidak punya perasaan!
*  *  *  *
        Waktu istirahat sudah tiba. Aku masih tak melihat Radi. Ku tanyai teman - teman yang ada di sekolah, tapi mereka juga tak melihat Radi.
        "Cha, lo nyari Radi?". Wahyu yang selalu mengira aku berpacaran dengan Radi itu datang ke arahku.
        "Iya. Lo tahu gak, dia dimana?".
        "Tadi gue lihat dia di ruang kesenian. Coba aja lo kesana.".
        "Ok! Thanks ya!".
Segera aku berlari menuju ruang kesenian. Benar saja. Ternyata Radi memang masih ada disini. Ia duduk termenung sambil memegang gitar akustik.
        "Rad, lo kenapa?". Ku coba mendekati Radi. "Lo sakit hati sama Lita?".
        "Hati gue hancur, Cha.". Mata Radi terlihat berkaca - kaca. "Tapi gue akan tetap mempertahankan niat gue untuk setia!".
        "Rad, gue tahu lo punya niat baik buat setia. Tapi bukan sama Lita. Itu cuma bisa nyiksa lo.".
        "Gue gak peduli.". Radi menyimpan gitar akustik itu dan pergi keluar meninggalkanku.
Aku terdiam di kursi piano. Saat bel masuk sudah berbunyi, aku kembali lagi ke kelas.
Tak habis pikir, ternyata Radi benar – benar bertekad kuat untuk setia. Meski yang aku tahu, Radi sudah mengalami pengkhianatan.
Mengapa Radi tak pernah menengok ke arahku? Dia melirik cewek terlalu jauh. Padahal disini ada aku yang sungguh – sungguh mencintainya sepenuh hati. Aku yang selalu ada untuknya. Aku yang selalu menemani setiap langkahnya dari dulu hingga saat ini. Mengapa ia tak pernah menyadarinya?
*  *  *  *
            Waktunya pulang. Aku mengajak Radi untuk segera keluar dari kelas, karena di kelas ada Farid dan Lita yang sedang bermesraan. Cewek tolol! Apa dia tidak pernah memikirkan Radi, Orang yang pertama menjadi pacarnya?. Sama saja dengan Farid yang tidak memperdulikan Radi.
         Aku menarik lengan Radi dan menggusurnya keluar kelas. Namun Radi seperti orang clengok. Kedua matanya hanya tertuju pada Lita. Hey! Sadarkah kamu, Rad?! Yang mencintaimu itu ada di sampingmu! Bukan Lita!
            “Lepasin gue, Cha!”. Radi menarik tangannya yang tengah ku genggam.
            “Tapi lo gak boleh ada di kelas!”.
            “Apa sih peduli lo ke gue?!”. Bentak Radi padaku.
Mendengar apa yang keluar dari mulut Radi barusan itu sungguh membuatku sakit hati. Selama ini dia tak sadar kalau aku selalu peduli padanya?
            “Apa selama ini lo gak pernah ngehargain gue sebagai orang selalu ngebantu lo?! Gue yang selalu jadi ‘kambing conge’ lo, gue yang selama ini bersedia buat ngedengerin semua curhatan lo! Lo sama sekali gak menghargai gue?! Ok! Gak masalah buat gue! Sorry kalo gue udah pegang – pegang tangan lo!”. Aku membentaknya dengan mata yang berkaca – kaca.
Sungguh aku tak percaya Radi menjadi seperti ini hanya karena patah hati oleh Lita. Aku segera pergi meninggalkan kelas sambil meneteskan air mata.
            “Cha, kamu kenapa?”. Tanya Agus yang berdiri di depanku.
Aku hanya menggelengkan kepala dan segera pergi meninggalkan sekolah. Sedih rasanya.
            Sampai di rumah, aku langsung berlari menuju kamar. Ku lemparkan tas yang ku gendong dan aku taruh badanku ini di kursi yang ada di kamarku. Air mataku berlinang. Sungguh aku masih tidak percaya Radi seperti itu kepadaku. Ku pejamkan mataku yang basah.
            “Non Valcha, ada Radi tuh di depan.”. Kata bi Ira yang sedang berada di depan pintu kamarku yang tertutup.
Mengapa Radi datang ke rumahku?
            “Iya, bentar bi.”.
Ku hapus air mataku yang berlinang. Segera ku keluar untuk menemui Radi.
            “Mau ngapain lo kesini, Rad?”.
            “Gue minta maaf sama lo, Cha.”.
            “Oh.. Iya gak apa – apa.”.
Radi memperhatikan wajahku yang sembab.
            “Lo abis nangis, Cha?”.
            “Gak kok!”
            “Cha, gue bener – bener minta maaf sama lo. Lo sahabat gue dari kecil. Gue gak mau lo nangis karna gue.”.
            “Ih GR banget sih lo!”.
            “Cha, tanpa lo bilang juga, gue udah tahu kalo lo nangis gara – gara gue!”.
            “Iya, makannya jangan bikin gue nangis! Udahlah! Gue mau makan siang dulu! Lo pulang, gih! Makan dulu sana!.”.
            “Hmmm.. iya, Cha.”.
Aku masuk kembali ke dalam rumah. Radi pun sudah pergi meninggalkan rumahku.
*  *  *  *
            14 Februari. Tepat hari Valentine. Yang punya pacar, biasanya tukar coklat. Yang jomblo, biasanya ngenes. Apalagi aku yang hampir setiap hari mengalami patah hati.
            Ku lihat Radi sudah ada di depan rumahku. Seperti biasa, kita selalu berangkat sekolah bersama. Segera aku pamit pada mama dan papa. Kali ini aku akan membawa mobil.
            “Cha, mending kita jalan kaki aja, ya!”. Kata Radi.
Tumben dia menolak diantar dengan mobil. Biasanya dia selalu menyuruhku membawa mobil.
            “Oh.. Tumben! Ya udah kalo mau jalan.”.
Aku dan Radi berjalan menuju ke sekolah.
            “Hari ini kan Valday, lo mau ngasih apa ke Lita?”.
            “Nih! Gue udah bawa coklat buat dia.”. Radi memperlihatkan coklat yang akan dia berikan pada Lita.
            “Lo beneran mau ngasih itu ke Lita?”.
            “Iya, lah!”. Wajah Radi terlihat berseri – seri.
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Tak tahu hal apa yang akan terjadi pada Radi kali ini. Perasaanku tidak enak.
*  *  *  *
            Sekolah lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena ini adalah hari Valentine? Menurutku, hari ini masih sama saja dengan hari – hari biasanya. Radi yang baru saja masuk ke kelas bersamaku, langsung berlari ke bangku Lita. Ku lihat Radi memberikan coklat itu pada Lita. Dengan wajah gembira, Lita menerima coklat pemberian Radi. Saat itu, Farid juga datang ke kelas. Farid memberikan kado Valentine pada Lita. Lita tersenyum – senyum happy.
            “Enak banget tuh si Lita! Dapet kado valday dua sekaligus. Lah gue?! Satu aja kagak ada yang ngasih!”. Gerutu Rahmi yang duduk bersamaku.
            “Gue juga sama, Mi!”.
            “Kadang gue heran, deh! Udah tahu si Lita itu cewek yang terkenal suka mainin cowok di sekolah ini, tapi tetep aja ada banyak yang nyantol sama dia! Mana sekarang punya pacar dua, ganteng semua lagi!”.
            “Gue yakin dia gak bakalan bahagia, Mi! Walau banyak cowok yang nyantol sama dia, tapi kalo sikap dia kaya gitu, yakin ada karma nungguin!”.
            “Iya bener tuh! Lagian si Radi kok mau aja diduain yah?”.
            “Gak tahu tuh.”.
            Ku perhatikan, Lita yang berada di tengah – tengah Radi dan Farid itu lebih cenderung bercanda tawa dengan Farid. Sedangkan Radi, hanya diam saja melihat mereka berdua asyik mengobrol.
            Farid mengajak Lita keluar dari kelas. Lita yang tidak punya perasaan itu pergi keluar bersama Farid. Sedangkan Radi, dia hanya diam di kelas dengan wajah tak bersemangat.
            “Gue perwakilan dari semua temen – temen disini, mau bicara. Minta perhatiannya, ya!”. Agus maju ke depan kelas seperti mau mengumumkan sesuatu.
            “Iya..”. Kata teman – teman satu kelas.
            “Buat Radi, sebaiknya lo putusin Lita. Udah beberapa hari ini temen – temen ngeliat lo gak semangat lagi. Bahkan nilai lo pada anjlok. Temen – temen juga sering ngeliat lo berantem sama Valcha, sahabat lo sejak SD.”.
            “Gue gak akan mutusin Lita!”.
            “Tapi, Rad..”.
Radi bergegas keluar kelas. Sepertinya Radi memang tak ingin memutuskan hubungannya dengan Lita.
            Bel masuk sudah berbunyi. Lagi – lagi Radi tidak masuk ke dalam kelas. Mungkin sekarang ini dia sedang ingin sendirian.
*  *  *  *
            Setelah pulang sekolah, aku harus mengikuti latihan basket. Sengaja aku tidak pulang dulu ke rumah, karena aku malas jika harus bulak – balik. Dari pertama aku datang ke lapangan basket, kira – kira pukul dua siang. Aku melihat Radi yang sedang duduk sendirian di kursi tour basket.
            “Rad, lo ngapain di sini?”. Aku duduk di samping Radi.
            “Gue lagi nungguin Lita.”.
            “Hmm.. Lo ada janji sama dia?”.
            “Iya. Gue mau ngajak dia nonton.”.
            “Oh.. Sejak kapan lo ada di sini?”.
            “Sejak tadi bel pulang sekolah.”.
            “Hmmm.. Ya udah, gue mau latihan basket dulu ya.”.
            “Iya.”.
Radi terlihat bersemangat menunggu kehadiran Lita. Tapi aku ragu jika Lita akan tepati janjinya.
            Sepanjang latihan basket, aku tak melihat kehadiran Lita. Sepertinya dugaanku benar kalau dia tidak akan menepati janjinya dengan Radi.
            Latihan telah usai, hari sudah sore. Aku beristirahat dan meminum air mineral yang aku bawa di tas ranselku. Radi masih duduk di kursi tour. Ku dekati Radi, dan memberikan air mineralku padanya. Kasihan ia dari tadi tidak melakukan apa – apa. Dia hanya menunggu Lita yang sudah jelas tak akan datang. Sepertinya, yang tersisa di lapang basket kali ini hanya aku dan Radi.
            “Rad, lo masih nungguin Lita?”.
            “Hmm.. Iya, Cha.”. terlihat senyum kaku di mulutnya.
            “Dia gak bakal datang, Rad.”. Ku yakini Radi. “Nih! Minum dulu. Lo dari tadi kayaknya gak makan sama minum.”. ku berikan air mineralku padanya.
            “Makasih, Cha.”. Radi meminum air mineral yang aku berikan padanya.
Ku tatap wajah Radi. Tampan, manis, cool. Itulah sosok Radi, sahabat yang aku taksir sejak kelas 2 SMP sampai sekarang ini.
            “Rad, mending lo SMS Lita aja.”.
            “Iya.”.
Radi segera mengeluarkan ponselnya dan mengetik SMS untuk Lita. Tak lama, Lita membalas SMS dari Radi. Entah apa isi balasan SMS dari Lita. Namun Radi terlihat emosi dan membantingkan ponselnya.
            “Radi! Lo kenapa?”.
Radi terlihat meneteskan air mata. “Gue benci hidup ini!”.
            “Radi! Lo gak boleh ngomong gitu!”.
            “Apa hah?! Gue benci ngejalanin hidup sebagai cowok setia!”.
            “Radi! Dengerin gue! Lo gak salah kalo udah buat niat jadi cowok setia. Tapi lo tuh salah milih cewek! Kenapa lo gak pernah ngeliat, betapa banyak cewek yang ngefans sama lo?”.
            “Gue gak butuh fans! Gue butuh kesetiaan balik!”.
            “Rad, tenangin dulu diri lo.”.
            “Gimana gue gak marah?! Udah capek – capek gue desak – desakan demi dapetin tiket buat nonton bareng Lita! Tapi dia malah jalan sama Farid! Bajingan!”.
Ternyata Lita tidak menepati janjinya karena tengah sibuk jalan dengan Farid.
            “Kalo lo gak keberatan, gue bisa nemenin lo nonton, kok.”.
Radi yang semula sedang menunduk sambil menangis itu melihat kearahku yang ada di sampingnya.
            “Thanks, Cha. Lo emang sahabat gue paling baik!”. Wajah Radi yang tadinya suram dan menangis, kini tersenyum.
Radi.. Coba aja lo ganti kata ‘sahabat’ itu dengan kata ‘pacar’. Gue mengharapkan itu dari lo, sejak dulu.
            “Iya, Rad. Hmm.. Kalo gitu, gue mau pulang dulu yah? Lo mau ikut ke rumah gue gak? Udah lama lo gak main ke rumah gue lagi.”.
            “Iya, Cha. Gue pengen ikut ke rumah lo, dong!”.
            “Ya udah, capcus bray!”. Aku dan Radi segera berjalan menuju rumahku.
*  *  *  *
            Kebetulan mama dan papa sedang tidak ada di rumah. Bi Ira sudah tak aneh dengan kedatangan Radi. Bahkan jika Radi bermain ke kamarku pun, tidak jadi masalah. Asalkan pintu kamarku terbuka. Radi sudah taka sing lagi bagi warga rumahku.
            “Rad, gue ke toilet dulu ya! Lo duduk aja di kursi belajar gue.”.
            “Ok!”.
Aku segera ke toilet untuk ganti baju. Aku memang tak bisa berpakaian feminim seperti halnya Siska atau Hani dan Lita. Aku tampil bergaya tomboy. Sulit bagiku untuk berdandan. Namun kali ini, aku harap aku bisa merubah diriku ke bentuk feminim. Semoga saja Radi merasakan kata hatiku sejak dulu.
            Begitu selesai, aku segera naik lagi ke kamarku.
            “Rad, ayo cepetan kita per…”. Aku kaget saat melihat Radi membaca buku harianku yang berisikan semua perasaanku padanya.
Radi melihatku dengan tatapan yang menusuk. Aku hanya bisa diam kaku.
            “Cha, lo suka sama gue?”.
Pertanyaan Radi membuatku diam membisu. Mulutku seakan tak bisa menjawab pertanyaan itu.
            “Valcha.. Lo nyimpen perasaan bertahun – tahun sama gue? Tapi gue gak pernah merhatiin lo?”.
Aku hanya diam dan diam. Mataku berkaca – kaca dan tak lama, meneteskan air mata. Ku hapus air mata itu segera dengan telapak tanganku.
            “Cha, kenapa gak bisa jawab? Kenapa lo gak pernah bilang sama gue, kalo lo nyimpen rasa ke gue? Kalo pun gue tahu itu, gue pasti udah nembak lo dari dulu!”.
Air mataku kembali terurai.
            “Maaf, diam – diam gue udah nyimpen rasa sama lo bertahun – tahun. Gue gak bisa bilang sama lo. Gue takut kalo lo gak nerima gue sebagai pacar lo. Yang bisa gue lihat, semua pacar lo itu cantik, feminim dan modis. Sedangkan gue? Gue tuh…”
            “Lo tuh imut, tomboy, dan apa adanya. Lo tuh baik, selalu bantuin gue. Lo selalu ada waktu buat gue. Lo selalu bersedia buat jadi pertumpahan emosi gue, dan kesedihan gue.”
            “Tapi…”.
            “Lo cantik, Cha. Yang gue lihat, sekarang lo udah berani dandan demi gue?”.
Sungguh aku tak bisa berkata apa – apa lagi. Radi memperhatikanku yang telah berdandan. Habislah aku kali ini! Seluruh lembaran buku harianku telah terbaca olehnya.
            “Cha, lo masih mau jadi pacar gue sekarang? Gue janji bakal setia sama lo!”.
Pertanyaan yang membuat mulutku menganga. Apakah ini mimpi? Radi menawari aku sebagai pacarnya.
            “Tapi… Lo masih punya Lita.”.
            “Gue jomblo, Cha.”.
            “Kapan lo putus sama Lita?”.
            “Barusan. Selagi lo masih di toilet. Waktu gue baca buku harian lo, gue sadar kalo sebenernya lo udah suka sama gue. Gue langsung putusin Lita lewat SMS.”.
            “Kenapa lo langsung putusin Lita?”.
            “Karna gue tahu, yang bakal ngasih kesetiaan dan kebahagiaan itu bukan Lita. Tapi lo, Valcha. Lo mau kan jadi pacar gue?”.
Sungguh bagaikan dalam mimpi! Aku tak pernah mengira kalau akhirnya akan seperti ini.
            “Hmmm.. Iya, Rad. Gue mau banget jadi pacar lo!”.
Radi tersenyum manis dan menghampiriku. Jari – jari Radi menghapus air mataku yang berlinang. Oh Tuhan! Inikah keajaibanmu? Datang padaku dengan kebahagiaan yang sangat sangat bahagia.
            “Jangan nangis lagi yah. Gue udah jadi pacar lo.”. Kata Radi dengan lembut. “Mau jadi nontonnya?”.
Aku mengangguk bahagia.
            Aku segera berjalan dengan Radi menuju bioskop. Rumahku tak terlalu jauh dari bioskop dan sekolah. Meski ada dramatisme sepanjang tadi siang, tapi ternyata malamnya adalah malam paling bahagia yang pernah aku rasakan. Terimakasih Tuhan, kau telah mendengarkan seluruh kata hatiku, kau telah mengabulkan do’a dan harapanku. Valday tahun ini indah ku rasakan.


My Facebook :  http://www.facebook.com/mirnamimor
My Twitter :  https://twitter.com/Mirnasa_Itry
URL : http://mimorbombom.blogspot.com/2012/05/dia-ada-di-sampingmu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar